Review ‘Menuju Galaksi Palapa’: Sinematografi apik, minus konflik
Mulai Senin (16/4) lalu ‘Menuju Galaksi Palapa’, film dokumenter band rock ibukota, Kelompok Penerbang Roket (KPR) resmi diputar untuk pertama kalinya kepada publik. Diputar pertama kali di CGV Cinemas, Grand Indonesia, Jakarta, “Menuju Galaksi Palapa” selanjutnya menjalani roadshow ke sembilan kota lainnya.
Dimulai dari Balikpapan (18 April) lalu Depok (20 April), Yogyakarta (24 April), Surabaya (26 April), Bekasi (1 Mei), Makassar (3 Mei), Medan (8 Mei), Palembang (10 Mei), dan terakhir Bandung (14 Mei).
Yah, seperti judulnya ‘Menuju Galaksi Palapa’, maka film ini pun bercerita tentang perjalanan KPR dalam merampungkan album mini terbaru mereka ‘Galaksi Palapa.’ Digarap oleh sutradara muda, Hasbi Sipahutar, film dokumenter berdurasi hampir 30 menit ini sangat memanjakan penonton dengan sinematografi apik. Mini albumnya merupakan eksperimen KPR dalam menyajikan sebuah album yang benar-benar bernuansa psychedelic rock, warna musik yang sebelumnya selalu diasosiakan dengan mereka meski trio tersebut hanya merasa mengusung hard rock.
Pengambaran sejumlah adegan awal dengan gedung-gedung bertingkat dan jalanan di Jakarta membentuk montase ibukota yang sangat pantas untuk menggambarkan latar kota tempat muncul dan tumbuhnya band KPR.
Bagaimana KPR terbentuk hingga menelurkan album debut ‘Teriakan Bocah’ (2015) jadi suguhan pembuka sebelum penonton disuguhi menu utama soal penggarapan album mini ‘Galaksi Palapa.’ Cukup informatif, khususnya untuk siapa saja yang baru mengenal KPR karena menonton film ini.
Bisa dibilang ketekunan band untuk selalu merekam momen-momen penting mereka, baik dalam bentuk foto maupun video akhirnya menemukan faedahnya saat di pembuatan film dokumenter seperti ini. Beberapa stok video dari pembuatan album pertama pun banyak ditemukan di film ini.
Hingga akhirnya penonton beranjak ke menu utama pembuatan album mini “Galaksi Palapa” di Musica Studio, Hasbi pun masih memanjakan penonton dengan gambar-gambar zoom-out selama Ray (gitar), Coki (bass, vokal), dan Viki (drum) melakukan take di tiap lagu.
Sayangnya, inti konflik dari film ini kurang terekspos maksimal. Yakni perihal rekaman yang dilakukan ulang karena Ray merasa kurang puas dengan hasil akhir rekaman pertama “Galaksi Palapa” di tahun 2015. Ya, KPR seperti enggan bermain drama di film mereka.
Entah karena durasi atau penggarapan alur yang kurang baik, konflik antar personel saat memutuskan untuk merekam ulang album seharusnya menjadi menu utama yang seru untuk dinikmati. Alhasil film pun terasa datar dan murni mendokumentasikan soal pembuatan album saja.
Secara keseluruhan ‘Menuju Galaksi Palapa’ layak ditonton, apalagi untuk penggemar film dokumenter musik. Memang belum menyamai ‘Montage of Heck’-nya Brett Morgen atau ‘Eight Days a Week’-nya Ron Howard. Namun film pendek ini sukses menambah referensi arsip film musik Indonesia dengan penggarapan yang baik.
Batok.co: Berita musik dan gaya hidup terkini.
You may be interested
Kreator Spongebob meninggal, netizen Indonesia bikin meme pengajian
Batok.co - Nov 30, 2018Selamat jalan Stephen Hillenburg.
Netizen heboh, kaki burung hantu ternyata jenjang banget
Batok.co - Nov 29, 2018WOW!
Nyebrangin papan, motornya selamat orangnya nyebur (video)
Batok.co - Nov 29, 2018“Ngapa lu loncat lontong!”