Amnesty International: Eksekusi akan menempatkan Jokowi dalam sisi kelam sejarah

Jumat ini 14 terpidana narkoba akan dihukum mati oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu para aktivis masih mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan ampunan dan grasi kepada para terpidana, apalagi kepada yang kurang beruntung seperti warga negara Indonesia, Merri Utami. Aktivis berpendapat bahwa Merri hanya dimanfaatkan sindikat narkoba untuk menjadi kurir seperti banyak perempuan miskin lainnya.

Amnesty International hanyalah segelintir dari banyaknya organisasi pembela hak manusia yang menentang eksekusi kepada 14 orang yang akan datang. Mereka mencoba untuk membujuk Presiden Jokowi agar membatalkan eksekusi demi menjaga legasinya sebagai presiden.

“Era Jokowi seharusnya menggambarkan sebuah awal baru untuk hak asasi manusia di Indonesia. Sayangnya, ia bisa menjadi pemimpin Indonesia dengan catatan jumlah eksekusi tertinggi sejak era demokrasi dan di saat kebanyakan negara di dunia sudah tidak menjalani hukuman mati yang kejam lagi,” kata Josef Benedict, Wakil Direktur International Amnesty untuk Asia Tenggara dan Asia Pasifik dikutip dari websitenya.

“Tidak ada bukti yang mendukung posisi Jokowi. Hukuman mati tidak mengurangi kejahatan. Mengeksekusi tidak akan membersihkan Indonesia dari narkoba. Itu bukan solusi, dan itu akan membahayakan kedudukan Indonesia di dunia,” lanjut Benedict.

Amnesty juga menyoroti kasus Zulfiqar Ali, pekerja tekstil dari Pakistan yang mengklaim dirinya disiksa polisi untuk mengakui kepemilikan heroin.

“Kasus Zulfiqar Ali menunjukkan bahwa hukum internasional berulang kali dilanggar. Mulai dari penangkapan, persidangan, hingga banding. Terlepas dari pandangan kita terhadap hukuman mati, gak ada yang pantas keputusan hidup atau matinya didasarkan oleh sistem yang cacat,” kata Benedict.

“Komunitas internasional seharusnya khawatir dengan kembalinya hukuman eksekusi, dan negara lain harus membela orang yang menghadapi hukuman mati di Indonesia.”